144 research outputs found

    Communications Patterns in Decision Making : Phenomenography Approach in Malaysia's and Indonesia's Political Organizations

    Get PDF
    Most of communication pattern and decision-making studies focused on corporate, social and business organization. Accordingly, it is necessary to continue the study of communication pattern and decision-making that focused on political organizations. The objective of this study was to obtain an understanding of the communication pattern and the decision-making process in political organizations, in this case Parti Keadilan Rakyat (PKR) of Malaysia and Parti Demokrasi Perjuangan (PDIP) of Indonesia. The research was designed as a qualitative research with a phenomenography approach within an interpretive paradigm. The phenomenography is an approach to reveal the variations in the ways activists in a political organization experience the organizational phenomena. Data were collected through interviews with leaders and members of both political parties. The data was analyzed through thematic analysis. The findings of this research suggest that both political parties applied downward communication patterns. PKR are also found to apply formal and informal communication patterns. The formal patterns consist of downward and upward communication. The more dominant one was downward communication, which was influenced by the members’ backgrounds and the challenges of the current political system. The informal pattern was dominated by grapevine and cross-channel communication. Meanwhile, the media for socialization is comprised of conventional and alternative media, with the latter predominantly used. Similarly, the formal communication pattern in PDIP was also dominated by downward communication while the informal one was dominated by grapevine. However, conventional media are utilized as the primary means of socialization. The finding of this study also highlights the decision-making process in PKR and PDIP, which considers three aspects; the dominant authority, experience, and context. The dominant authority became the main aspect in PKR’s decision-making process, while experience and contexts were undermined. The decision-making process in PDIP, on the other hand, emphasized experience and dominant authority, while context was undermined. This study significantly found that phenomenography is relevant approach for communication research in political organization. Furthermore, the phenomenography is potential to be developed in interpersonal communication researches. Findings of this study validated the phenomenography approach in understanding the organizational phenomena; in particular, the central role of communication pattern and decision making is empirically confirmed

    Bela Negara, Bela Bangsa dan Bela Agama

    Get PDF
    Terminologi bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Secara verbal formalitas heboh wacana bela negara ini mestinya sudah tuntas sejak 13 tahun lalu ketika UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara diratifikasi DPR

    Mengomunikasikan Wilayah Rawan Bencana

    Get PDF
    Becana harus dikomunikasikan kepada masyarakat agar masyarakat memiliki tingkat antisipasi bila sewaktu-waktu kondisi itu terjad

    Leadership Based on Path-Goal Theory in Organization Communication: A Perspective of Listening to the Labors� Voices

    Get PDF
    The goal of this study is to find out the labor�s perception about directive, participative, and supporting leadership which is oriented toward the organization or company�s objectives. This research applies path-goal theory perspective as the main theory, and leadership and motivational theories as the supporting ones. This research applies a qualitative approach with a constructivist paradigm, and the research design is phenomenography. Data collection is done through field observation, in-depth interview, and virtual interview. Data analysis is carried out thematically by applying the NVIVO 12 application. The steps include data collection, phenomena structuring and signification (conceptualized differently), understanding variation (due to varieties of concepts), empirical manner, concept identification and space outcome. Data validity testing is done with a triangulation of theory and sources. The findings show that the labors� perception is constructed in two forms. First, hope perception in which leaders are described as democratic figures, who are motivating employees, participative and open to suggestions and opinions. Second, implementation perception in which the labors describe leaders as individuals who have a directive capability, tend to be authoritative, and do not take sides with the labors� interest. The novelty of this research is the boldness in adopting phenomenography as a research design that is typical in education study to be taken as a new approach in organization communication to elaborate the informants� perception. Another novelty of this study relates to the fact that this study elaborates the concept of leadership from labors� perspectives. The facts obtained from the field showed that gaps between labors� and leaders� perspective were quite high. For instance, the concept of �democracy� was rather unclear. Leaders perceived democracy as something related to freedom, while labors found it a form of �coercion�. The field data collection is very limited due to the Covid-19 pandemic situation and the enforcement of limitations on community activities (PPKM in Indonesian) in Java and Bali. The concrete contribution of this research is to enrich theoretical study on organization communication and on the implementation of phenomenography method

    Sensasi, Agitasi dan Provokasi

    Get PDF
    Artike

    Semiotika Natal dan Etos Kerja

    Get PDF
    Artikel atau Opin

    SERVICE LEARNING DAN PENGALAMAN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MARGINA

    Get PDF
    Kegiatan Service Learning (SL) mengalami perluasan makna. Semula SL didesain hanya terfokus pada kegiatan perkuliahan yang kemudian diaplikasikan kedalam dunia praktik bersama masayarakat. Namun dalam konteks ini, SL dipahami sebagai aktivitas rutin yang dilakukan oleh setiap insan akademik sebagai implementasi dari Tridharma Perguruan Tinggi. Wujudnya bisa beragam tetapi intinya satu yakni pemberdayaan masyarakat. Aktivitas pemberdayaan masyarakat sejatinya juga aksi lanjutan dari apa yang dikuasai di kelas kemudian ditularkan kepada komunitas masyarakat tertentu. Artinya, semua kegiatan tidak jauh-jauh amat dari penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan ada manfaat praktisnya untuk lingkungan. Pertanyaannya, siapa yang diberdayakan? Tentu saja kelompok atau komunitas masyarakat yang secara keterampilan, teknologi, dan akses informasi masih kurang. Hadirnya sentuhan pemberdayaan diharapkan mampu berkontribusi menjadi instrumen pengungkit agar komunitas tersebut memiliki nilai tambah dalam berkegiatan. KATA PENGANTAR viii Service Learning dan Pengalaman Pemberdayaan Komunitas Marginal Tentu saja sentuhan pemberdayaan tidak serta-merta membuat segala sesuatunya berubah seketika. Konsep pemberdayaan sendiri menekankan pelibatan aktif antara kelompok yang diberdayakan dengan pihak yang berperan memberdayakan. Itu artinya dua pihak harus mengambil peran aktif. Tanpa kerja sama dan kolaborasi yang saling menopang satu sama lain, hasil optimal yang ditargetkan akan sulit dicapai. Pemberdayaan bukan konsep monoaksi dan monoaktor. Pemberdayaan pasti melibatkan kerja tim. Maka tim penyelenggara harus saling melengkapi satu sama lainnya. Keberhasilan adalah hasil kerja bersama. Namun jika terjadi kegagalan sepenuhnya itu tanggung jawab ketua tim di lapangan. Mengapa? Karena harus ada pihak yang berani mengambil resiko jika harus ada yang dipersalahkan. Namun demikian, ketidakberhasilan SL sebetulnya sangat mudah diantisipasi sepanjang ada kepatuhan terhadap tujuh norma-norma dasar SL. Apa itu? Pertama adanya Link to Curriculum yakni harus memiliki keterkaitan dengan satu disiplin atau multidisiplin keilmuan. Meaningful S-L yakni dosen diharapkan mentransformasi pembelajaran di kelas, menjadi sesuatu yang bermakna untuk komunitas yang diberdayakannya. Reflection yakni menuangkan dalam bentuk refleksi apa-apa yang sudah dilakukan. Diversity, memahami bahwa masyarakat memiliki keberagaman dan pendekatan solusi yang tidak tunggal. Partnership yakni kegiatan bisa berhasil bila memiliki mitra kerja. Progress, monitoring, duration dan evaluation, artinya setiap kegiatan yang diprogramkan, mesti dimonitoring dalam durasi tertentu yang pada akhirnya juga wajib dievaluasi (Kuntjara, et al., 2013). Jadi kegiatan SL ataupun abdimas adalah aktivitas pembelajaran praktikal yang memiliki respons umpan balik. Pihak kampus menawarkan satu kegiatan atau komunitas tertentu meminta intervensi pemberdayaan sifatnya adalah kolaboratif saling menguntungkan. Tidak boleh salah satu pihak merasa dieksploitasi untuk kepentingan pihak lain. Kedua belah pihak mesti merasa ada kebermanfaatan yang saling melengkapi

    Reporting on ‘Monas Incident’ in the Mass Media Construction

    Get PDF
    Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengidentifikasi konstruksi berita tentang FPI versus AKKBB (Aliansi Kebebasan untuk Kerukunan Beragama dan Berkeyakinan) - dalam kasus konflik pelarangan ajaran Ahmadiyah,(2) untuk mengidentifikasi konstruksi media massa terhadap pelaksanaan gerakan pemurnian ajaran agama di negara pluralisme, (3) untuk mengetahui konstruksi pemberitaan media dalam menempatkan hubungan antara negara dan organisasi keagamaan sebagai kekuatan masyarakat sipil untuk mendukung kehidupan yang harmonis orang beragama. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana. Fokus pada berita media tentang FPI atau Insiden Monas di Suara Pembaruan dan Republika dalam periode publikasi antara 02-12 Juni, 2008. Komponen yang diamati mencakup, tematik, skematik, semantik, sintaksis, gaya dan rectories. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pertama, konstruksi berita dari media sangat ditentukan oleh ideologi media tersebut. Suara Pembaruan (bernuansa nilai Kristiani) menekankan bahwa FPI melakukan kekerasan terhadap hak-hak orang dalam melaksanakan kebebasan beragama. Republika (menekankan nilai Islami) menilai bahwa FPI tidak membuat kekerasan tetapi menerapkan praktek pemurnian ajaran Islam. Kedua, praktek pemurnian ajaran agama tidak merupakan tindakan yang salah. Ketiga, negara dinilai sangat tidak tegas dalam melaksanakan fungsinya. Negara tidak memberikan perlindungan yang cukup kepada mereka yang lemah

    Responses of User to New Media Application in Mpu Tantular Museum, East java

    Get PDF
    The purpose of this paper is to measure user’s responses of the New Media application. An application, called CD Interaktif, is installed to the Museum Mpu Tantular of East Java. In measuring the responses, a survey was conducted to the user of CD Interaktif. The finding shows that user encounter difficulties in accessing the application, user has received acceptable knowledge, and shows expectations from the respected application

    INFODEMIK versus Pandemik Covid-19

    Get PDF
    INFODEMIK versus Pandemik Covid-19 Oleh Gatut Priyowidodo, Ph.D “We’re not just fighting an epidemic; we’re fighting an infodemic”, said WHO Director- General Tedros Adhanom Ghebreyesus at the Munich Security Conference on Feb 15, 2020. Kutipan pernyataan Tedros Adhanom Ghebreyesus di atas menegaskan bahwa WHO (World Health organization) adalah organisasi yang paling kesulitan mengelola informasi ditengah maraknya Pandemik Covid-19. Selain, ia menjadi sentral informasi dan rujukan utama setiap negara untuk bagaimana mengambil sikap yang tepat setelah tahu betapa bahayanya sebaran virus Korona ini, pada saat yang bersamaan WHO sendiri menghadapi serangan informasi sesat yang luar biasa. Perkembangan terkini virus mematikan ini sudah menyebar di 210 negara di dunia. (https://www.worldometers.info/coronavirus/). Tuduhan bahwa Covid-19 adalah hasil gagal konspirasi Cina dan WHO begitu keras di alamatkan kepada Badan Kesehatan Dunia ini (Vidon, 2020). Donald Trump menuduh, bahwa WHO main-main dengan menyamakan bahaya virus Korona sama dengan flu biasa. Reaksinya US $ 400 juta konstribusi AS akan disetop atau minimal dipending. Sebagai organisasi yang sangat bergantung dari iuaran anggota, tentu kabar itu ibarat semburan bisa ular piton yang mematikan Antoneo Guterres, Sekjen PBB cepat-cepat merespon jika saat ini tidaklah waktu yang tepat untuk memotong anggaran. Diperlukan kesatuan langkah untuk bersama-sama memerangi keganasan virus ini. Bahkan Lawrence Gostin, seorang mahaguru Global Health di Georgetown University mengatakan, bahwa tanpa WHO yang kuat, maka akan semakin banyak manusia yang tewas, tidak hanya di sub Sahara Afrika tapi imbasnya juga di AS (https://www.theguardian.com/world/2020/apr/14/). Konsep Infodemik Belum lama ini saya membaca sebuah artikel yang cukup menarik ditulis oleh Warren Fernades, Pemimpin Redaksi The Straits Times dan President of the World Editors Forum yang berjudul: “Credible Media vital in fight against coronavirus and epidemic of fake news” yang dimuat TST, 9 April 2020. Ternyata infodemik diserupakan artinya dengan penyebaran informasi yang salah yang bisa merusak kepercayaan publik pada saat yang genting. Jauh sebelum itu konsep infodemik tahun 2010 sudah ditambahkan dalam kamus Wiktionary yang diartikan sebagai istilah informal terkait melimpahnya informasi yang berlebihan tentang suatu masalah tetapi sulit ditemukan solusinya. Dua tahun sebelumnya Erni (2008) menulis artikel akademis dalam Studi Budaya Antar Asia yang meneliti SARS juga memunculkan istilah infodemik. Tapi lagi-lagi apa arti konsep itu tidak terlalu dielaborasi. Infodemik hanya dimaknai parallel dengan keberhasilan media dalam menceriterakan krisis SARS. Fenomena lain yang turut memperjelas konsep infodemik naik pamor adalah ketika tahun 2015 ramai pemberitaan tentang sindrom virus Zika (CZVS). Seorang fotographer Brasil yang bekerja untuk The Associated Press, berhasil memotret Jose Wesley yang berumur empat bulan yang dimandikan ibunya Solange Ferreira di dalam sebuah ember. Seorang bayi kecil yang mengalami kerusakan neurologis, terhenti pertumbuhannya. Sehingga ketika lahir cacat serta menyebabkan bayi itu lahir dengan kepala kecil dan tidak normal. Berita itupun menjadi viral oleh beragam platform media social. Satu berita telah diamplifikasi ke banyak media. Bahwa berita itu kebenarannya perlu diverifikasi, tidak terlalu dipusingkan. Atas dasar semua itu lalu konsep infodemik itu apa? Infodemik tidak lain adalah melimpahnya informasi yang salah serta sulit ditangani karena terlanjur menyebar ke publik. Jelas sekarang, ternyata ketika bencana pandemik Korona merebak, semarak pula beragam berita aspal atau abal-abal berupaya menyusuf sebagai berita seolah-olah penting dan bermanfaat. Kepakaran telah runtuh seperti yang disinyalir Thomas M. Nichols (2017) melalui The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters. Kemajuan teknologi dan membaiknya level pendidikan serta tersedianya beragam kebutuhan informasi melalui WebMD dan Wikipedia mendorong setiap orang seolah-olah menguasai pengetahuan sekelas doktor. Inilah kondisi yang sekarang terjadi. Mencermati trafik lalu lintas yang begitu padat di media sosial, tidak jarang kitapun terjebak untuk mengkonsumsi aneka informasi yang entah dari mana sumbernya, seolah itu tidak penting lagi. Bahkan jika diantara kita aktif di twitter, maka apapun latar belakang pendidikan dan penguasaan pengetahuan kita, sangat tidak penting lagi. Orang bisa mengolok-olok dan memperlakukan kita sekehendak hatinya bila posisi kita kontra. Nach dalam situasi seperti saat ini narasi apapun yang diproduksi oleh Pemerintah jika posisinya adalah oposan, hampir-hampir semua yang dilakukan negara salah. Aturan karantina wilayah, PSBB, istilah mudik dan pulkam atau apapun pasti direspon penuh kebencian dan penolakan. Meskipun sudah berdarah-darah upaya maksimal yang dilakukan negara masih juga terasa tidak cukup. Sebagai tandingannya, disebarkanlah beraneka berita bohong yang bermuara upaya delegitimasi kewenangan sah yang dimiliki oleh penguasa saat ini. Apa yang dialami WHO dalam skala global, Pemerintah Indonesia dalam skala nasional serta Pemerintahan Provinsi, Kabupaten/Kota dalam sekala regional dan lokal hampir sama. Barisan sakit hati di masyarakat tetap berupaya keras mendekonstruksi apapun kerja produktif pemerintah guna menggerus simpati publik. Tidak penting apakah saat ini kondisi negara sedang emerjensi atau tidak yang penting ‘capital gain’ di bidang politik tetap dipetik. Maka musuh besar Pemerintah bukan saja bagaimana menaklukan jurus mematikan virus Korona, tetapi juga kekuatan logistik (rakyat ) yang tidak satu pemahaman. Dilarang mudik karena berpotensi sebagai ‘carrier’ penyebaran virus di daerahnya. Tetap saja ‘ngeyel’ dan mudik. Jangan beribadah rame-rame ditempat ibadah. Tetap saja dilawan dengan narasi, mengapa harus menjauh dari rumah Allah. Jangan berhimpun dalam skala besar, tetap saja tidak mau patuh. Maka tidak heran hingga hari ini, jumlah korban pada semua level pemerintahan setiap hari semakin bertambah. Bahwa ada yang sembuh, itupun tetap harus diapresiasi, sebagai bukti riil jika Pemerintah sedang berupaya keras agar rakyat jangan semakin bertambah banyak yang menjadi korban. Angkat topi untuk lini terdepan perang melawan Covid-19, mereka adalah petugas kesehatan, dokter, perawat, TNI/Polri dan BNPB. Mereka habis-habisan berkorban sesuai bidang tugasnya. Namun musuh lain yang menusuk dari belakang adalah para penyebar berita sesat yang senang jika Indonesia gagal menangani krisis yang super berat ini. Ironisnya, mereka justru menembak Jatim dan Jakarta sebagai target market-nya, karena terkategori zona merah, agar memicu kepanikan massal. Melawan Pandemik Covid-19 Serangan lain yang memerlukan kekuatan ‘full team’ adalah pandemic virus Korona ini. Harus diakui, belum ada anti virus yang diproduksi massal. Bahwa Israel misalnya sudah mendeklarasikan dirinya berhasil menemukan vaksin dibawah riset ilmuwan bioteknologi Israel yang dikepalai Dr. Chen Katz, dari MIGAL (The Galilee Reseach Institute) sepertinya juga masih harus ditunggu dengan sabar. Sebab hasil riset tersebut baru terbukti jika sudah diproduksi secara massal, begitu yang dilaporkan The Jerusalem Post, 27 February 2020. (https://www.jpost.com/HEALTH-SCIENCE/Israeli-scientists-In-three-weeks-we-will-have-coronavirus-vaccine-619101). Artinya jalan menuju terselesaikannya wabah besar-besaran ini masih berliku dan panjang. Entah sampai kapan. Politisi, ilmuwan atau cerdik pandai semua berharap-harap cemas, agar semua segera berakhir dan aktifitas kehidupan bisa normal kembali. Jika menengok sejarah, pandemik ini sebuah kejadian langka yang berulang setiap 100 tahunan. Misalnya tahun 1720 - Wabah; 1820 - Wabah kolera; 1920 - Flu Spanyol; 2020 - Coronavirus Cina. Empat pandemik yang tercatat ini, semua menakutkan. (https://www.statesman.com/news/20200410/). Wabah, 1720, ditandai dengan demam menular yang disebabkan oleh bakteri yang ditransmisikan dari tikus ke manusia oleh gigitan kutu yang terinfeksi, menyebabkan beberapa pandemi terburuk dalam sejarah, menurut Britannica.com. Wabah Besar Marseille, menewaskan sebanyak 126.000 orang di Prancis selatan mulai tahun 1720. Wabah Kolera, 1820. Tercatat pertama kali menyebar dari Calcutta di sepanjang Delta Gangga pada tahun 1817, itu telah membunuh jutaan orang, kata Robert Wood Johnson Foundation, yang mendukung penelitian dan program kesehatan. Berikutnya flu Spanyol. Pandemi “disebabkan oleh virus H1N1 dengan gen asal burung. Meskipun tidak ada konsensus universal mengenai dari mana virus itu berasal, ia menyebar ke seluruh dunia selama 1918-1919, ”menurut CDC. “Di Amerika Serikat, pertama kali diidentifikasi dalam personel militer pada musim semi 1918. Diperkirakan sekitar 500 juta orang atau sepertiga populasi dunia terinfeksi virus ini. Jumlah kematian diperkirakan setidaknya 50 juta di seluruh dunia dengan sekitar 675.000 terjadi di Amerika Serikat. Itu disebut flu Spanyol bukan karena itu berasal dari Spanyol tetapi karena itu adalah Perang Dunia I, dan Spanyol adalah satu-satunya negara yang jujur tentang korban pandemi terhadap negara itu. Fakta historis di atas membuktikan bahwa di luar perang dan bencana alam, manusia ternyata sangat rentan terhadap makluk pembunuh yang tidak kasat mata tersebut. Mikro bakteri yang bermutasi ke tubuh manusia memiliki dua karakter, jahat dan baik. Seolah itu juga pesan terselubung bahwa manusia sejatinya juga mengidap karakter baik dan jelek. Pihak mana yang dominan di dalam diri kita, itulah yang mencerminkan kedirian kita. Jatidiri sesungguhnya siapa kita terefleksi dalam tata rasa, tata pikir dan tata laku kita. Namun kelebihan manusia adalah dia mampu melakukan manipulasi karakter sesuai panggung pertunjukan. Manusia piawai dalam bermain watak dalam sandiwara kehidupan. Erving Goffman (1959) menyebut dalam bukunya Presentation of Self in Everyday Life sebagai bentuk dramaturgi. Itulah sebabnya manusia bisa bermain watak ketika lingkungan menghendaki peran sosial tertentu yang mesti dimainkan. Maka jangan heran, jika nasehat Abrahan Lincoln ini benar adanya, ia mengatakan; “Hampir semua orang dapat menanggung kemalangan, tapi jika Anda ingin menguji watak manusia, coba beri dia kekuasaan”. Di situlah karakter atau watak sesungguhnya manusia itu terlihat. Semoga dimasa Pandemik Covid-19 ini watak-watak berbudi luhurlah yang terus terpancar keluar dari hati sanubari kita yang paling dalam. Daftar Pustaka Fernandez, W. (2020). “Credible media vital in fight against coronavirus and epidemic of fake news.” www.straitstimes.com, 9 April 2020. diakses 29 April 2020. Hoffman, M.J. (2020). “Israeli scientists: In a few weeks, we will have coronavirus vaccine Once the vaccine is developed, it will take at least 90 days to complete the regulatory process and potentially more to enter the marketplace”. diakses 28 April 2020. Kertscher, T. (2020). “Fact-check: Has a pandemic occurred every 100 years?” www.statesman.com. 10 April 2020. diakses, 29 April 2020. Nichols, T.M.(2017). The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters. New York: Oxford University Pres
    • 

    corecore